Kabar Pangkalpinang

Rendahnya Harga Cabai Ancam Petani, DPKP Babel Ajak Masyarakat Cintai Produk Lokal

Editor: Rusaidah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala DPKP Bangka Belitung Edi Romdhoni.

PANGKALPINANG, BABEL NEWS - Penurunan harga cabai merah di pasaran saat ini menjadi satu di antara faktor penyebab deflasi di Bangka Belitung. 

Seperti diketahui harga jual cabai merah di pasaran Pangkalpinang saat ini berkisar Rp30 ribu per kilogram, sedangkan sebelumnya berkisar di angka Rp40 ribu per kilogram.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Bangka Belitung Edi Romdhoni menjelaskan, penurunan harga cabai merah saat ini bukan disebabkan ketersediaan produk yang berlebih, melainkan karena rendahnya daya beli masyarakat. 

Tak dipungkiri Edi, rendahnya harga jual saat ini akan mengancam keberlangsungan para petani lokal mengingat biaya tanam yang dirasa tidak seimbang.

"Ini bukan produk berlebih, tetapi daya beli yang masih rendah ditambah lagi pasokan kita juga dari luar. Untuk itu kita perlu membantu menjual produk lokal agar perekonomian kita bangkit kembali," ungkap Edi kepada Bangkapos.com, Selasa (1/10).

Meksi belum sepenuhnya mampu menenuhi kebutuhan masyarakat di Bangka Belitung Edi mengungkap, jika hasil panen petani lokal mampu memenuhi 20 persen dari kebutuhan pangan daerah, sementara 80 persen sisanya masih harus didatangkan dari luar. 

"Nilai NTP dari sub sektor para petani ini di atas 100, artinya biaya yang dikeluarkan dan diterima masih surplus," ucapnya.

Diketahui kebutuhan tahunan dua varietas cabai yaitu cabai merah keriting dan cabai rawit merah mencapai 5.000 ton hingga 6.000 ton di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Pemenuhan kebutuhan cabai rawit masih jauh dari harapan, dengan hampir setengah dari kebutuhan tersebut masih dipasok dari luar daerah. Sedangkan cabai merah keriting sudah mampu memenuhi kebutuhan saat ini. 

Edi menjelaskan, petani di Bangka Belitung cenderung lebih memilih untuk menanam cabai merah keriting atau cabai besar. Hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan cabai rawit masih kurang, dengan kebutuhan yang belum terpenuhi sekitar 3.000 ton. 

"Petani di Babel untuk urusan cabai ini lebih cenderung menanam cabai merah keriting atau besar. Sedangkan cabai rawit ini tidak banyak, sehingga sewaktu-waktu ketika stok berkurang harga ini tinggi. Terus kalau kita lihat dari alasan para petani biaya panen yang dibutuhkan untuk cabai rawit lebih tinggi dari cabai merah dan memerlukan perawatan yang lebih intens," ujar Edi.

Di tengah tantangan ini, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan terus berupaya mengedukasi para petani milenial untuk bergabung dalam kelompok tani. 

Edi menyebut, bahwa saat ini terdapat sekitar 150 ribu petani di provinsi ini, tetapi hanya 20 persen yang terlibat dalam sektor hortikultura dan pangan.

"Petani yang terlibat pada komdoti cabai ini hanya petani-petani itu-itu saja sehingga kita perlu menambah jumlah petani holtikulturan ini dengan merangkul petani milenial," ucap Edi.

Edi menyatakan, hanya 20 persen dari kebutuhan pangan yang dapat dipenuhi oleh petani lokal, sedangkan 80 persen masih harus didatangkan dari luar daerah.

Ia mengajak agar semua stakeholder terkait bisa saling berkolaborasi dalam menjaga ketahanan pangan.

"Meskipun pangan kita banyak dari luar, yang terpenting adalah memastikan pasokan agar ketahanan bahan pangan ini bisa terjaga dan sampai ke konsumen dengan harga yang terjangkau," jelasnya. 

Edi menekankan pentingnya menggerakkan masyarakat untuk membeli produk pertanian lokal sebagai solusi untuk meningkatkan semangat para petani.

Dirinya turut mengajak masyarakat untuk membeli produk petani ini melalui gerakan moral cintai produk lokal.

"Untuk mendukung gerakan ini, saya membawa beras dari petani lokal di Rias, Namang ke kantor-kantor untuk mereka beli. Dengan kita beli produk petani lokal dan cepat habis, maka mereka akan nanam lagi," jelasnya.

Edi optimistis jika masyarakat berpartisipasi aktif dalam membeli produk lokal sehingga bisa mengerakkan perekonomian di daerah. (t3)