Mengintip Panti Wangka, Saksi Bisu Sejarah Konferensi Federal Golongan Minoritas Indonesia

Panti Wangka sebelumnya digunakan sebagai tempat pelaksanaan Konferensi Federal Pangkalpinang pada 1-12 Oktober 1946.

Editor: suhendri
Bangka Pos/M Ismunadi
PANTI WANGKA - Kondisi terkini Panti Wangka di Jalan Merdeka, Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Foto diambil Rabu (11/1/2023). 

PANGKALPINANG, BABEL NEWS - Bangunan berdinding putih ini berdiri kokoh di pusat ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tepatnya di Jalan Merdeka, Pangkalpinang. Meski terkesan sepi tak berpenghuni, gedung yang dikenal dengan nama Panti Wangka itu menyimpan sejarah penting Indonesia.

Di zaman Hindia Belanda, Panti Wangka menjadi tempat penyelenggaraan konferensi federal yang bertujuan untuk penyatuan pendapat antara golongan-golongan minoritas yang ada di Indonesia untuk mendukung pemerintah Hindia Belanda.

Demikian disampaikan sejarawan dan budayawan penerima Anugerah Kebudayaan, Akhmad Elvian, Rabu (11/1/2023). Elvian menceritakan, Panti Wangka dahulu bernama Societeit Harmonie. Gedung tersebut didirikan pada masa Residen Bangka A.J.N. Engelenberg.

"Kala itu, A.J.N. Engelenberg memerintah pada tahun 1913-1918 masehi saat ibu kota keresidenan Bangka dipindahkan dari Kota Muntok ke Pangkalpinang pada 3 September 1913 masehi," kata Elvian.

Societeit Harmonie awalnya digunakan sebagai tempat berkumpulnya ambtenar-ambtenar goebernemen atau pegawai-pegawai tinggi pemerintah dan pejabat-pejabat perusahaan BTW (Banka Tin Winning), para perwira tinggi militer, para pengusaha dan orang-orang kaya Belanda untuk berkumpul bersama, mendengarkan musik dan hiburan serta kesenian.

Panti Wangka sebelumnya digunakan sebagai tempat pelaksanaan Konferensi Federal Pangkalpinang pada 1-12 Oktober 1946. Konferensi tersebut dilaksanakan sebagai kelanjutan dari konferensi federal yang dilaksanakan di Malino, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan pada 15-25 Juli 1946.

Konferensi-konferensi federal digagas oleh Dr. H.J.van Mook, Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam rangka membentuk negara-negara federal yang merupakan Uni Indonesia-Belanda. Tujuannya untuk penyatuan pendapat antara golongan-golongan minoritas yang ada di Indonesia guna mendukung pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan minoritas tersebut adalah orang-orang Indo-Eropa, Arab, Cina, Jepang, dan India.

"Dipilihnya Pangkalpinang sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi karena pemerintah Hindia Belanda ingin menjadikan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan di luar Pulau Sumatera sebagai basis kekuatannya," ujar Elvian.

Konferensi yang dilaksanakan di Societeit Harmonie diikuti 80 delegasi dari sekitar 15 daerah pendudukan Belanda (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Riau, Sulawesi Selatan, Minahasa, Manado, Bali, Lombok, Timor, Sangihe-Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.

Gedung ini yang semula bernama Societeit Harmonie berubah menjadi Gedung Panti Wangka pada tahun 1953. Hal in seiring dengan dinasionalisasikannya perusahaan-perusahan pertambangan timah, BTW (Banka Tin Winning Bedrijf), GMB (Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton) dan NV. SITEM (Singkep Tin Maatschappij) oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi perusahaan milik negara (Perusahaan Negara atau PN Timah).

Setelah itu, pengelolaannya kemudian berada di bawah Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) dan namanya diganti menjadi Panti Wangka. Panti yang berarti rumah dan wangka berarti timah atau lebih dikenal dengan rumah timah. Adapun fungsinya tetap digunakan sebagai gedung pertemuan.

Panti Wangka merupakan bangunan bersejarah, baik dalam konteks sejarah lokal maupun nasional dan sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah serta memiliki nilai sosial budaya bagi masyarakat.

"Oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya, diregistrasi sebagai Bangunan Cagar Budaya dan harus dilindungi oleh negara," kata Elvian.

Ia berharap, Panti Wangka dapat dilestarikan, dilindungi keasliannya, tetap memberikan dampak terhadap masyarakat dan dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat untuk kepentingan sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan, arsitektur, pendidikan, dan kepariwisataan.

"Bangunan tersebut dapat diadaptasi fungsinya dengan tetap memperhatikan keasliannya sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010," ujar Elvian.

Sumber: Bangka Pos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved