Berita Pangkalpinang
Dua Hari 2 Bangkai Buaya Ditemukan di Pangkalpinang, BKSDA: Kasus Ini Berbeda
Kasus kematian buaya secara beruntun ini telah dikoordinasikan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta sejumlah instansi terkait
PANGKALPINANG, BABEL NEWS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan angkat bicara soal matinya dua ekor buaya muara yang bangkainya ditemukan mengambang di kawasan Sungai Jerambah Gantung, Jalan Gabek I, Kelurahan Selindung, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, belum lama ini.
Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah (SKSDAW) III BKSDA Sumsel, Sugito, mengatakan, kasus kematian buaya secara beruntun ini telah dikoordinasikan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Bangka Belitung serta sejumlah instansi terkait.
Sugito menjelaskan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1990, kewenangan pengelolaan satwa liar perairan, termasuk buaya dan penyu, kini berada di bawah KKP.
“Buaya dan penyu kini menjadi kewenangan KKP, namun kami tetap berkoordinasi dan membantu di lapangan sesuai tugas dan fungsi kami. Sebelumnya, BKSDA yang menangani langsung interaksi negatif dengan satwa, tetapi kini kami menjadi bagian dari tim teknis bersama KKP dan Satgas Penanganan Konflik Satwa Babel,” ujar Sugito kepada Bangka Pos, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, BKSDA tetap bekerja sama dengan berbagai mitra seperti nelayan, komunitas konservasi, serta Yayasan Alobi dalam penanganan satwa liar.
Namun untuk dua bangkai buaya yang ditemukan di kawasan Sungai Jerambah Gantung, pihaknya langsung melaporkan temuan tersebut ke KKP dan Dinas Lingkungan Hidup Babel.
Sugito menegaskan bahwa buaya muara merupakan satwa dilindungi sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018, bersama jenis lain seperti buaya senyulong.
“Satwa dilindungi tidak boleh diburu, dimiliki, diperjualbelikan, apalagi dibunuh tanpa izin. Pelanggaran atas hal ini bisa dikenai hukuman minimal tiga tahun hingga maksimal lima belas tahun penjara,” katanya.
Sugito menyebut, secara umum meningkatnya interaksi negatif antara manusia dan buaya di Indonesia disebabkan oleh kerusakan habitat, berkurangnya sumber makanan, serta aktivitas manusia di kawasan perairan. Namun, kasus di Jerambah Gantung dinilai berbeda.
“Menurut laporan warga dan nelayan, buaya di kawasan itu tidak pernah menyerang manusia. Mereka hidup berdampingan karena habitatnya masih alami dan sumber makanan mencukupi,” tutur Sugito.
Buaya muara, kata dia, pada dasarnya tidak bersifat agresif.
Serangan terhadap manusia biasanya terjadi akibat kesalahan persepsi satwa ketika mendeteksi pergerakan di air saat malam hari.
“Buaya aktif mencari makan di waktu gelap. Kalau ada pergerakan di air, instingnya mengira itu mangsa. Jadi bukan karena ingin menyerang manusia,” ujar Sugito.
Kerusakan lingkungan di wilayah muara dan pesisir menyebabkan berkurangnya ikan serta hewan air lain sebagai sumber makanan buaya.
Kondisi itu memaksa buaya berpindah ke sungai kecil atau kolong bekas tambang, yang meningkatkan kemungkinan bertemu manusia.
| Kejari Pangkalpinang Terima Uang Pengganti dari Terpidana Lasidi Pribadi |
|
|---|
| PW Salimah Babel Lantik 28 Pengurus Baru |
|
|---|
| Anggota DPRD Babel Dorong Pembukaan Kembali Rute Pelayaran Sungsang-Mentok |
|
|---|
| Korban Tolak Restorative Justice, Kasus Dugaan Penipuan dengan Tersangka Wagub Hellyana Berlanjut |
|
|---|
| Tanamkan Kebersihan Sejak Dini, DWP Kemenag Babel Edukasi Anak Kesehatan Gigi dan Mulut |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/babel/foto/bank/originals/20251111_Sugito.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.